Kita
kerap mendapatkan teladan dari kearifan leluhur, namun barangkali kita
tidak tahu siapa yang menjaga dan dari mana sumbernya.
Prajurit
Keraton Ngayogyakarta berangkat dari pagelaran dalam upacara tahunan,
Grebeg Maulud. Satu tradisi Jawa yang dipentaskan jelang perayaan
Sekaten untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. (Youfeta Devy)
“Agama
Hindu dan Buddha di Indonesia berbeda dengan Hindu dan Buddha di India.
Ini kreativitas orang Nusantara dalam memahami dan menyerap agama,”
ungkap Ahmad Salehudin. Kemudian dia memberikan contoh lain, “Islam
demikian juga, aneh kalau orang Indonesia seperti orang Arab yang
berjubah.”
Ahmad mengungkapkan hal tersebut dalam
Lokakarya World Royal Heritage Festival
. Acara tersebut digelar oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Forum Silaturrahmi Keraton
Nusantara pada 13 Desember 2014. Dia merupakan Kepala Peneliti Budaya
Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu. pengajar Antropologi Agama,
dan Wakil Kepala Inclusive and Sustainable Development Institute di UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Leluhur bangsa Indonesia,
menurutnya, telah memberikan teladan kearifan kala menyerap budaya dan
agama, juga keteladanan dalam menyikapi kemajemukan. “Kalau dipaksakan
[bergaya mengikuti budaya lain] hilanglah keragaman kita,” ujarnya.
“Agama itu tergantung bagaimana kita menafsirkan.”
“Kita sejak
awal adalah bangsa pluralis,” Ahmad berkata. Dia mencontohkan Candi
Plaosan, yang berada tak jauh dari Candi Prambanan di Jawa Tengah,
merupakan “Candi Buddha rasa Hindu.”
Candi
Plaosan Lor di Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Candi Buddha dalam rasa
Hindu, bukti kemajemukan budaya yang merupakan teladan nenek moyang. (Gunawan Kartapranata/Wikipedia)Prasasti Sri Kahulunan bertahun 764 Saka (atau 842
Masehi) telah menerakan bahwa Ratu Sri Kahulunan telah membangun Candi
Plaosan Lor. Pembangunan tempat suci tersebut mendapat sokongan dari
sang suami, Rakai Pikatan. Sri Kahulunan adalah gelar Pramodhawardani,
putri Raja Samarattungga dari Wangsa Sailendra. Mengapa candi Buddha ini
bergaya ala candi Hindu? Tampaknya jawaban ada pada sang pembangun:
Sri Kahulunan, yang memeluk agama Buddha, menikah dengan Rakai Pikatan
dari Wangsa Sanjaya, yang memeluk agama Hindu.
Bahkan,
menurutnya, ada satu fakta yang jarang diungkap, bahwa agama yang
berkembang di Kerajaan Majapahit adalah Siwa Buddhisme, perpaduan antara
siwaisme (Hindu) dengan buddhisme.
Tampaknya kemajemukan di
Indonesia merupakan harmonisasi yang luar biasa—dan seharusnya memang
demikian. “Kalau ada faham-faham yang ingin menghancurkan keharmonisan
itu,” demikian kata Ahmad, “seharusnya kita tidak setuju!”
Ahmad
memaparkan, betapa para leluhur bangsa Indonesia sangat menghargai
keberadaan agama-agama lain. Mereka memberi ruang kepada semua agama
untuk hidup dan berkembang, memfasilitasi agar setiap agama dapat
menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. "Bagi saya,
mustahil seorang penguasa memfasilitasi agama lain untuk menjalankan
ibadah jika menganggap agama lain tidak benar."
“Keraton
bukan simbol feodalisme,” ujarnya. “Keraton adalah simbol dari tapak
peradaban. Adanya Indonesia merupakan keberlanjutan dari
kerajaan-kerajaan.”
Leluhur kita juga telah mewariskan
semangat toleransi dan penghormatan luar biasa terhadap tradisi agama
lain, ungkapnya. Demi menghormati tradisi hinduisme yang berpantang
terhadap sapi, Sunan Kudus "melarang" umat Islam di Kudus untuk
menyantap hidangan daging sapi. Sebagai gantinya mereka menyantap daging
kerbau. "Makanya di Kudus kita tidak menemukan soto sapi, tapi soto
kerbau."
Ahmad menambahkan sejatinya nilai-nilai keteladanan
leluhur itu telah diajarkan lintas generasi, namun masyarakat tidak
pernah tahu dari mana sumbernya. Dia mengatakan bahwa keraton-keraton
Nusantara itulah yang merupakan sumber tapak sejarah perjalanan hidup
bangsa. Keraton tidak semata-mata sebuah sistem pemerintahan yang hidup
pada masa dan wilayah tertentu, demikian ungkapnya, melainkan juga
manifestasi dari multi nilai yang hidup dan diyakini oleh masyarakat
pendukungnya.
Kendati demikian, dia menyesalkan orang-orang yang berpendapat bahwa
membangkitkan kearifan budaya keraton identik dengan membangkitkan
feodalisme. Ada juga pemerintah daerah yang khawatir terhadap
kebangkitan keraton yang akan mengurangi kekuasaan pemerintah, dia
berpendapat. “Keraton bukan simbol feodalisme,” ujarnya. “Keraton
adalah simbol dari tapak peradaban. Adanya Indonesia merupakan
keberlanjutan dari kerajaan-kerajaan.”
Tiga orang perempuan tengah berlatih tari di Pura Mangkunagaran, Surakarta, Jawa Tengah. (Riza Nugraha/Wikipedia)
Perihal
pemerintah daerah yang merasa terancam, dia merasa itu pendapat yang
berlebihan. Bahwa membangkitkan kearifan budaya keraton bukan berarti
serta merta akan membangkitkan kembali kekuasaan keraton, demikian
hematnya. Kekuasaan keraton pada masa silam tak bisa dibangkitkan
kembali karena kini sistem sosial, ekonomi, dan budaya sudah berbeda.
“Upaya membangkitkan budaya keraton bukan membangkitkan feodalisme. Ini
membangkitkan budaya atau revitalisasi budaya yang lenyap karena
penjajahan.”
“Kita lupa mengembangkan budaya lokal. Sekarang, Presiden mengajak kita untuk memangku lautan, bukan memunggungi lautan.”
Salah
satu kearifan keraton adalah membangun pertalian dengan lingkungan
alamnya. Lewat kesadaran kosmologi ini keraton melahirkan kesadaran
membangun teknologi berdasar alam sekitar—kekuatan darat atau kekuatan
maritim. Kerajaan Sriwijaya membangun kejayaannya dengan memanfaatkan
potensi geografi dan alam lewat kekuatan maritimnya. Tragis, demikian
ungkap Ahmad, apabila kejayaan budaya bahari pada masa silam, kini
menjadi budaya daratan. “Kita lupa mengembangkan budaya lokal. Sekarang,
Presiden mengajak kita untuk memangku lautan, bukan memunggungi
lautan.”
“Keraton ibarat taman permadani, simbol lokalitas yang
dianyam dan dirajut menjadi permadani yang indah,” ungkap Ahmad. “Jadi,
dengan melihat keraton, kita dapat melihat dan memahami semua hal dari
sejarah perkembangan peradaban manusia.”
Para
prajurit Keraton Yogyakarta, dari berbagai kesatuan wilayah, bersiap
melakukan upacara Grebeg Syawal yang digelar pada 1 Syawal setiap
tahunnya, menandai berakhirnya bulan Ramadhan (kalender Hijriyah) atau
Pasa (kalender Jawa). Tampak sisi kanan, Prajurit Wirabraja, dikenal
juga dengan julukan 'Lombok Abang' atau cabai merah lantaran berseragam
warna merah dan topi runcing warna senada.
0 komentar:
Posting Komentar