18.02
0

Studi: konsep “beruntung� muncul karena kondisi psikologis, bukan disebabkan faktor probabilitas/peluang.

Ilmu Keberuntungan?Ilustrasi: orang yang merasa beruntung. Konsep "beruntung" dihasilkan dari emosi (kondisi psikologis), bukan hasil dari faktor probabilitas. (thinkstockphoto)
Studi: konsep “beruntung” muncul karena kondisi psikologis, bukan probabilitas.
Menemukan uang di pinggir jalan dalam jumlah besar mungkin dapat dianggap suatu keberuntungan, namun para ilmuwan mulai meneliti lebih jauh dan menemukan bahwa konsep tersebut muncul disebabkan oleh adanya kondisi psikologis, bukan karena faktor probabilitas.
Permainan peluang
Taruhlah contoh ketika anda sedang bermain permainan tebak ekor. Ketika anda mendapatkan tiga gambar kepala dalam tiga kesempatan berturut-turut, apakah pada kesempatan keempat anda akan mendapatkan gambar ekor? Tentu tidak. Peluang anda mendapatkan gambar ekor adalah 50/50, peluang yang persis sama yang anda dapatkan sebelumnya saat membalik tiga gambar kepala tadi. Hal ini disebut “the gambler's fallacy", yakni keyakinan bahwa sesuatu yang muncul akan berlawanan dari yang sudah terjadi sebelumnya. Dalam suatu penelitian yang dirilis PNAS dikatakan, otak kita cenderung mencari pola pikir seperti itu.”Fungsi utama dari otak kita adalah untuk menghadapi ketidakmungkinan atau ketidakpastian dengan maksud mencari keteraturan (kebenaran),” jelas Yanlong Sun, seorang profesor fatogenesis dan imunologi mikroba. Penelitian menunjukkan bahwa otak kita jauh lebih pintar dari yang kita bayangkan. Otak secara otomatis dapat mengenali analisa statistik dari suatu keadaan. “Sebagai seorang ilmuwan dan seorang manusia biasa, saya percaya akan keberuntungan. Keberuntungan adalah sesuatu yang tidak bisa dikelabui ilmu sains.”
Orang-orang yang “Beruntung”
Keberuntungan tidak begitu saja bisa terjadi, bahkan untuk mereka yang menganggap dirinya beruntung. Richard Wiseman, seorang profesor psikologi di University of Hertfordshire di Inggris, telah melakukan beberapa penelitian dengan cara mengelompokkan orang yang beruntung dengan yang tidak.
Pada penelitian tersebut, ia menyuruh seluruh orang untuk membaca sebuah surat kabar. Di beberapa surat kabar tersebut ia menuliskan kalimat “Selamat, anda memenangkan uang 250 euro” sehingga orang yang membacanya akan otomatis mengatakan diri mereka adalah seorang yang beruntung. Sementara untuk mereka yang tidak mendapatkan tulisan tersebut dalam surat kabarnya akan cenderung merasa lebih cemas, yang diakibatkan dari gagalnya pencarian mereka.
Richard Wiseman kemudian mengelompokkan empat dasar keberuntungan dalam website pribadinya. Empat dasar itu adalah:
1. Maksimalkan kesempatan
Orang-orang beruntung mampu memulai, memerhatikan, dan beraksi ketika ada kesempatan yang dating.
2. Mendengarkan firasat yang menguntungkan
Orang-orang beruntung membuat keputusan efektif dengan mendengarkan intuisi dan keberanian mereka.
3. Mengaharapkan nasib baik kedepannya
Orang-orang yang beruntung merasa yakin bahwa masa depan mereka akan penuh denan nasib baik. Prasangka baik ini akan menjadi “ramalan” yang dibutuhkan oleh orang-orang beruntung tersebut untuk menstimulasi cara mereka menggapai kesuksesan di masa depan, meski mereka mengalami kegagalan di tengah jalan.
4. Ubah kesialan menjadi nasib baik
Orang-orang beruntung memiliki taktiknya sendiri  (secara psikologis) untuk menghadapi situasi. Sebagai contoh, ketika mengadapi kegagalan, seseorang akan berpikir keadaan bisa saja terjadi lebih buruk daripada yang sudah dialami, dengan demikian mereka dapat mengontrol situasi dan yang terpenting, mengendalikan emosi diri sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar