Apakah Viking Memang Identik
dengan Kekejaman?
Ahli sejarah Yale mengajak kita untuk berpikir kembali
soal alkisah-alkisah mengerikan tentang suku Nordik.
Kaum Viking
tercatat tak menyisakan apa pun ketika mereka menyerbu Kota Nantes—kini di
Perancis bagian barat, Juni 843. Termasuk para biksu pendeta yang beriringan
memasuki katedral dalam kota itu.
Berdasarkan
penuturan seorang saksi mata peristiwa, "Orang kafir itu membantai semua
orang, baik imam, ulama, sampai awam." Di antara orang-orang yang mati
terbunuh tersebutlah seorang uskup yang kemudian dijadikan orang suci.
Bagi
kacamata pembaca modern, cerita serangan tersebut tampaknya mengerikan,
kejam—bahkan untuk standar peperangan abad pertengahan.
Anders
Winroth, profesor sejarah Universitas Yale dan penulis buku The Age of the
Vikings, mengatakan bahwa penggambaran yang dibesar-besarkan (hiperbola)
ini adalah suatu kecenderungan dari tulisan-tulisan Eropa tentang kaum Viking.
Winroth
berpendapat, selain mengabaikan tabu menyerang pendeta dan imam, Viking pun
tidak banyak berbeda daripada prajurit Eropa bangsa lain di masa itu.
Pendapat
Winroth itu disepakati sejumlah akademisi: Viking yang "haus darah"
juga tak jauh lebih buruk daripada bangsa-bangsa lainnya yang berperang.
"Pada
masanya, banyak bangsa Eropa lainnya juga mengerikan," tutur Tom Shippey,
seorang profesor emeritus Bahasa Inggris di Saint Louis University yang sering
menulis tentang Viking.
Lantas
mengapa Viking yang selalu menang? Banyak penjelasan, Shippey berkata. Antara
lain, etos yang dimiliki Viking tidaklah sama seperti Eropa lain mana pun.
Salah satu yang dikatakannya yaitu sikap menakzimkan idealisme sebagai prajurit
dan, di satu sisi, tak memedulikan kematian.
Sudut
pandang korban
Viking
mendapatkan publikasi negatif, sebab mereka menyerang masyarakat yang lebih
terpelajar ketimbang mereka sendiri dan karenanya sejarah menuliskan banyak
cerita dari tentang bangsa itu, konteks ceritanya hanya dari sudut pandang
korban.
Terlebih,
oleh karena Viking menganut pagan, dalam alur cerita Kristen mereka dicitrakan
sebagai "kuasa jahat".
"Sangat
tak adil hanya mengikuti cerita yang dituturkan dari korban," ujarnya.
Bahkan,
untuk memastikan, para akademisi pun mempelajari selama puluhan tahun aspek
kehidupan Viking di luar perang, dan mendapati keahlian suku Nordik di bidang
ketukangan, juga keahlian dagang dengan Arab.
Mereka ialah
pedagang yang luar biasa, menjual mulai dari fur, taring walrus, dan
budak kepada orang-orang Arab di Timur. Winroth bahkan meyakini kalau mereka
telah menyediakan stimulus moneter yang dibutuhkan perekonomian Eropa Barat
pada saat-saat genting.
Alasan
sebenarnya
Apa
sejatinya alasan dari serbuan Viking?
Bisa jadi
bukan soal mereka secara irasional menyukai kekerasan melainkan, menurut
pendapat Winroth, alasan pragmatis. Semata-mata karena ingin membangun kekuatan
dan kekayaan pribadi.
Sebagai
buktinya Winroth menunjukkan sejumlah kasus di mana para pemimpin Viking
menegosiasikan (atau setidaknya mencoba untuk) pembayaran.
Salah satu
contoh, sebelum Pertempuran Maldon di Inggris, seorang utusan Viking mendarat
dan berseru ke 3.000 lebih prajurit Saxon: 'Lebih baik Anda membayar lunas
pertarungan ini dengan upeti... Juga kita tak perlu saling membunuh.'
Inggris memilih melawan, dan ditaklukkan.
"Sebagaimana
bangsa lain, Viking pun memilih memenangkan negosiasi daripada mengambil risiko
kekalahan dalam perang," kata Winroth.
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.