Tambora telah menjalani takdirnya sebagai sebuah petaka yang sempurna.
Kesenyapan ribuan tahun itu pun pecah kira-kira setelah mentari tergelincir pada Rabu, 5 April 1815. Gunung Tambora yang berada di semenanjung Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, bererupsi dengan bahana yang luar biasa. Lima hari berikutnya, gelegar dan guncangan terhebat sepanjang masa pun mendera.
Gelegar itu menandai ambruknya sepertiga badannya. Sebelum erupsi besar ini, Tambora merupakan gunung api tertinggi se-Asia Tenggara. Kini, tingginya terpangkas menjadi hanya sekitar 2.850 meter dari permukaan laut.
Asap aerosolnya membumbung mencapai lebih dari 43 kilometer, meracuni lapisan stratosfer Bumi. Sekitar 12.000 warga yang menghuni pinggangnya, binasa dalam sehari pascaletusan pertamanya. Menurut perkiraan sejarawan, total korban jiwa sekitar 117.000 orang yang tinggal di Sumbawa, Lombok, dan Bali. Selama lima tahun ladang-ladang tak bisa digarap sehingga terbitlah bencana kelaparan. Peristiwa terhebat sepanjang sejarah ingatan manusia!
Tambora telah menjalani takdirnya sebagai sebuah petaka yang sempurna. Gunung itu tak hanya menghadirkan petaka dari dasar bumi, tetapi juga tsunami dari lautan yang turut teraduk. Baru beberapa dekade belakangan ini, para ahli vulkanologi dan ahli meteorologi sepakat bahwa petaka Tambora telah menjadi biang lenyapnya musim panas di Eropa dan Amerika Utara pada tahun berikutnya.
Lenyapnya musim panas pada 1816, telah mengakibatkan kegagalan panen, wabah penyakit, dan kematian manusia. Namun, setiap bencana selalu membawa hikmah. Seorang penulis asal Inggris justru terinspirasi kelamnya cuaca, dan berhasil menerbitkan novel Frankenstein. Juga, seorang Jerman yang menciptakan alat transportasi pengganti kuda yang kini kita kenal dengan julukan sepeda. Dunia membungkus semua kenangan itu sebagai 'Year Without A Summer'.
Lewat naskah koleksi Kesultanan Bima, beserta penelitian arkeologi dan geologi; kami berupaya menyingkap kembali peradaban semasa yang telah tersungkur bencana, dan menalikannya dengan kearifan sejati di negeri rawan bencana ini.
"Dengarkan tuan ikat-ikatan. Dikarang oleh Khatib Lukman. Tempat menaruh peringatan. Supaya ada akan jadi zaman." Barangkali sang khatib pun tak menyangka bahwa syairnya telah mengundang kami untuk menyelisik kepingan-kepingan peradaban Tambora.
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.