10 Fakta Tersembunyi Di Balik
Kecamuk Perang Jawa
Menyingkap sisik melik sebuah perang modern yang
nyaris melenyapkan Keraton Yogyakarta.
1. Dipanagara
Bukan Nama Orang
“Dipanagara”
merupakan gelar kebangsawanan yang digunakan di keraton Jawa tengah bagian
selatan. Sebelum sang penggelora Perang Jawa yang bernama Dipanagara,
tercatat dua orang yang menggunakan gelar tersebut. Ratu Bendara, seorang putri
Sultan Mangkubumi, pernah menikah dengan seorang bangsawan Surakarta bernama
Pangeran Dipanagara. Pangeran ini wafat pada 1787 dan dikebumikan di Kuncen,
Yogyakarta. Jauh sebelumnya, pada awal abad ke-18, seorang dari putra
Pakubuwana I turut memberontak pada Perang Suksesi Jawa Kedua. Nama bangsawan
pemberontak itu adalah Dipanagara, dan dalam Babad Tanah Jawi mengambil gelar
“Erucakra” juga. Dia dilaporkan “menghilang” di Lumajang pada 1723.
Namun
demikian, sesudah Perang Jawa, gelar Dipanagara tidak digunakan lagi di
kalangan keraton, baik Yogyakarta atau Surakarta. Tampaknya, Dipanagara adalah
suatu nama yang membawa sial.
2. Nyaris
Tewas di Ulang Tahunnya
Inilah kado
sial untuk Sang Pangeran, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-44. Andreas
Victor Michiels nyaris menangkap Dipanagara saat melarikan diri di Pegunungan
Gowong, kawasan barat Kedu pada 11 November 1829. Serdadu Belanda dan Arafura
melakukan pengejaran di bawah komando Michiels. Namun, Sang Pangeran berhasil
melompat ke jurang dan bersembunyi di rerimbunan gelagah. Andai Dipanagara
tewas dalam pengejaran itu, kisah Perang Jawa tak akan seheroik ini—kita tidak
akan pernah menjumpai kisah babadnya.
3.
Laskar Dipanagara yang Pemadat
Candu secara
luas digunakan sebagai obat perangsang dan bagian ilmu ketabiban Jawa untuk
menyembuhkan aneka penyakit. Ketika perasaan anti-Cina pada bulan-bulan awal peperangan
sedikit mereda, orang Cina mendapat keuntungan sebagai bandar candu di garis
belakang. Selama Perang Jawa ada laporan bahwa banyak prajurit Dipanagara jatuh
sakit karena ketagihan madat. Laporan Kapten Raden Mas Suwangsa, perwira
kavaleri Legiun Mangkunagaran yang tertangkap laskar Dipanagara dan dibawa ke
Desa Selarong pada masa awal Perang Jawa. Dia mengungkapkan, “Para pangeran
biasanya tidur hingga pukul sembilan atau sepuluh pagi dan beberapa di antara
mereka menjadi budak madat.”
4. Sisi Feminim
Sang Pangeran
Selama
perang dia sejatinya tidak tega untuk mengangkat senjata. Terhadap korban tewas
bergelimpangan di kedua pihak, dia merasa pilu, bahkan, dia sampai menutup
kedua matanya. Dipanagara mengungkapkan hal tersebut kepada Letnan Dua Julius
Heinrich Knoerle, perwira asal Jerman yang mengawalnya dalam pelayaran ke
Manado. Bisa jadi sisi psikologis ini dipengaruhi oleh banyak wanita yang
pernah mengasuh dan membesarkannya.
Ki Roni
Sodewo, seorang keturunan ketujuh Pangeran Dipanagara dari anak yang bernama
Raden Mas Alip atau Ki Sadewa, sedang membersihkan makam tak terawat milik
Kapten Hermanus Volkers van Ingen. Sang Kapten, anjing irish-red-setter
kesayangannya, dan anak buahnya tewas dibantai laskar kakek moyang Ki Roni.
Anjingnya dimakamkan bersebalahan makam kapten malang itu."Seharusnya,
meskipun milik musuh kita harus merawatnya. Makam ini merupakan bagian
sejarah," ujar Ki Roni prihatin. (Mahandis Y. Thamrin)
5. Makam
Sang Kapten dan Anjing Kesayangannya
Jelang
perayaan tahun baru 1829 di Nanggulan, sebuah operasi pengejaran yang ceroboh
telah mendatangkan kebinasaan bagi sepeleton serdadu Hindia Belanda Timur.
Dalam pertempuran tidak seimbang itu Kapten Hermanus Volkers van Ingen dan
anjing irish-red-setter kesayangannya tewas di tangan Laskar Dipanagara. Kini,
makam keduanya masih di jumpai di Nanggulan, barat Sungai Progo. Prasasti yang
menerangkan keduanya sudah sulit terbaca, sehingga warga sekitar menganggap
bahwa makam di samping sang kapten itu adalah kuda tungganggannya.
6.
Sistem Stelsel Benteng
Sejak Mei
1827, Belanda menerapkan siasat terbaru dalam sejarah pertempuranya:
Pembangunan benteng medan-tempur darurat untuk menjepit gerak Dipanagara.
Benteng memakai sumber daya setempat yang melimpah, seperti pohon kelapa dan
bambu. Bersifat dinamis, mengikuti gerak pengepungan. Selama 1825-1829 dibangun
258 benteng—area padat ada di Mataram. Dalam strategi ini disusun pula delapan
pasukan gerak cepat berdasar area; jelang akhir perang menjadi empat belas.
Arsitek benteng medan adalah Kolonel Frans David Cochius. Pasca perang, namanya
diabadikan sebagai benteng bersegi delapan di Gombong, Jawa Tengah.
Kain batik
dari akhir abad ke-19 yang mengisahkan pasukan gerak cepat serdadu Hindia
Belanda Timur dalam Perang Jawa (1825-1830). Koleksi H. Santosa Doellah, Museum
Batik Danar Hadi, Surakarta. Simak "Kecamuk Perang Jawa" di edisi
Agustus 2014. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
“Perang Jawa
itu sudah disiapkan selama 12 tahun,” ujar Saleh As’ad Djamhari, sejarawan
dan pemerhati militer. “Dipanagara telah melakukan konspirasi dalam senyap
dengan sabar, tertutup, dan rahasia.” Sang pangeran itu membentuk jaringan
dengan para bekel, demang, bupati, ulama, santri, dan petani untuk menyusun
kekuatan. Lewat dana sokongan dari para bangsawan dan perampasan konvoi
logistik Belanda, dia menyiapkan pabrik mesiu di pinggiran Yogyakarta dan
membeli bedil locok berpicu—mungkin buatan Prusia.
Peter Brian
Ramsay Carey, salah satu sejarawan sohor asal Inggris Raya, mengatakan bahwa
tahun-tahun awal perang memang penuh teror terhadap warga Cina. Laskar
Dipanagara menyerukan kebencian kepada orang-orang Cina, bahkan membantai
mereka. Namun, akhirnya orang Jawa merindukan mereka juga. “Situasi seperti
balik ke semula,” ujar Carey. “Bahwa orang Tionghoa dibutuhkan untuk menjadi
pembekal sebab mereka punya jaringan di pesisir. Mereka menyelundupkan mesiu
dalam paket-paket ikan asin”—sebagian bertempur di pihak Dipanagara!
Perang Jawa
menjadi sejarah besar bukan sekadar biaya dan korbannya yang berjumlah
fantastis, melainkan juga aspek politik-militer yang melingkupinya: Problema
kedaulatan, keinginan Dipanagara membentuk negara Islam, dan organisasi militer
modern yang digunakan kedua pihak yang berseteru.
Peta
penyerbuan ke Pleret pada 9 Juni 1826 oleh pasukan Belanda dan pasukan pembantu
asal pribumi di bawah komando Kolonel Frans David Cochius. Peta ini merupakan
bagian dari "Memoires sur la guerre de l'ile de Java, de 1825-1830"
karya F.V.A. de Stuers.(Foto seizin KITLV)
Inilah
perang lima tahun (20 Juli 1825 hingga 28 Maret 1830) yang membuat Belanda
nyaris membinasakan dan melenyapkan Keraton Yogyakarta. Simak sepuluh fakta
berikut—yang mungkin sudah dilupakan orang—di balik kecamuk sengit Perang Jawa:
7.
Organisasi Militer ala Turki versus Belanda
Laskar
Dipanagara, dengan organisasi ala Turki-Usmani: Bulkiya, Barjumuah, Turkiya,
Harkiya, Larban, Nasseran, Pinilih, Surapadah, Sipuding, Jagir, Suratandang,
Jayengan, Suryagama, dan Wanang Prang. Hierarki kepangkatan juga beraksen Turki:
alibasah setara komandan divisi, basah setara komandan brigade, dulah setara
komandan batalion, dan seh setara komandan kompi. Pertama kalinya dalam militer
Jawa dikenal kepangkatan. Seperti Dipanagara, para laskarnya juga berserban dan
mencukur habis rambutnya—gundul.
Serdadu
Hindia Timur, dengan organisasi ala Eropa. Serdadu Hindia Timur bukanlah orang Belanda asli.
Pasukan tentara reguler—infanteri, kavaleri, artileri, dan pionir—terdiri atas
orang Eropa dan pribumi. Diperkuat Hulptroepen yang merupakan kesatuan tentara
pribumi dari Legiun Mangkunagara, barisan Mangkudiningrat, barisan Natapraja,
Sumenep, Madura, Pamekasan, Bali, Manado, Gorontalo, Buton, dan Kepulauan
Maluku. Kemudian, Jayeng Sekar, polisi berkuda yang direkrut dari setiap
karesidenan. Lainnya: spion, petugas rohani Islam, kuli, pelayan, koki, dan
tukang cuci.
8. Kejujuran
Sang Jenderal
Setelah
Dipanagara dijebak di Wisma Residen di Magelang, De Kock mengakui kelicikannya
dalam catatan hariannya. “Saya memahami sepenuhnya, tindakan saya yang demikian
itu tidak terpuji, tidak kesatria dan licik karena Dipanagara telah datang ke
Magelang dengan keyakinan dan kejujuran saya untuk mengadakan perundingan
dengan saya. Lagipula, ia sendiri tidak mungkin mempunyai rencana-rencana yang
bermusuhan...” Kemudian De Kock melanjutkan, “Jika saya menangkap Dipanagara,
[...] maka perbuatan itu tentulah akan menimbulkan kesan yang tidak
menguntungkan.”
9. Nasib
Wangsa Dipanagaran
Setelah
perang, keturunan Dipanagara yang berada di pengasingan mereka di luar Jawa
tetap dianjurkan oleh Belanda menggunakan gelar kepangeranan. Tujuannya supaya
lebih mudah mengawasi. Sementara, keturunan Dipanagara yang berada di Jawa
terus dicari dan disingkirkan dalam kerabat keraton—hingga dibunuh. Mereka
memilih untuk menghuni lereng-lereng pegunungan di sekitar Yogyakarta. Seorang
cicit Dipanagara pernah mendirikan Jajasan Pendidikan Diponegoro pada 1954 di
Yogyakarta. Tujuannya, supaya wangsa Dipanagaran yang di pelosok Gunung Kidul
dan Bagelen bisa memperoleh beasiswa untuk bersekolah di Yogyakarta. Walau
tersedia uang dan dukungan, tak satu pun orang yang bersedia mengaku keturunan
Dipanagara.
10.
Perang Jawa Tampaknya Sudah Diramalkan Belanda
Pemerintah
Belanda mendapat pemasukan dari bandar-bandar tol yang dikelola oleh
orang-orang Cina yang baru tiba dari Fujian. Beberapa tahun jelang Perang Jawa,
bandar-bandar gerbang tol kian meresahkan rakyat. Mereka memungut pajak secara
membabi buta dan kerap tidak sopan kala penggeledahan terhadap para perempuan.
Kemudian, Residen Surakarta dan Residen Yogyakarta membuat semacam tim audit
yang menyingkap sepak terjang gerbang-gerbang tol. Tim audit ini mengusulkan
kepada gubernur jenderal untuk menghapus gerbang-gerbang tol di kedua kerajaan
itu. “Bahwa kalau gerbang-gerbang tol tersebut tetap diizinkan terus melakukan
kegiatannya, maka waktunya tidak lama lagi, pada saat orang-orang Jawa itu akan
bangkit dengan cara yang mengerikan.”
Onghokham,
sejarawan dan cendekiawan, pernah mengungkapkan bahwa jarang sekali raja di
Nusantara yang tak segan menghimpun bantuan rakyat untuk kekuatan
militer-politis. “Hamengkubuwana I dan Dipanagara merupakan pengecualian,”
ungkapnya. Namun, beberapa kasus di Asia Tenggara menunjukkan bahwa
“pemberontakan rakyat atau petani tidak mengubah struktur masyarakat.”
“Struktur
tetap selalu terdiri atas golongan elite raja dan priyayi, dan di pihak lain
adalah rakyat biasa,” ungkap Onghokham. “Mereka tetap saja jadi wong cilik.”
0 komentar:
Posting Komentar